Skip to main content

Satu lagi Mimpi..


Rabu, 9 September 2015  jadi salah satu hari bersejarah untuk beberapa mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), tapi tidak untuk saya. Ya, hari kelulusan pun tiba. Setelah empat tahun menjadi mahasiswa, melewati fase yang menurut orang-orang adalah gerbang penentu kesuksesan di masa depan, akhirnya semua berakhir, tapi lagi-lagi tidak untuk saya. Sejak pertama kali memasuki bangku kuliah, wisuda bukan jadi sesuatu yang penting bagi saya, hanya sebatas ceremonial. Tapi, hari itu saya sadar mengapa orang-orang begitu menunggu momen ini. Wisuda, mungkin bukan apa-apa, tapi jadi hadiah spesial untuk keluarga dan sahabat terdekat. Euphoria nya terasa lebih mendalam ketika dihadiri dan disaksikan oleh mereka, yang rela menyempatkan waktu untuk melihat kita sesekali berbusana rapi, mengenakan toga, dan bahkan memberikan buket bunga dan boneka sebagai kenang-kenangan.
Disaat semua orang menikmati kebahagiaan itu, ada rasa takut yang semakin besar menghantui pikiran saya. Rasa takut tidak berhasil melalui fase transisi yang kata orang menakutkan, rasa takut akan bekal ilmu yang tidak cukup untuk bertahan di dunia luar yang kata orang kejam, rasa takut kalau ternyata mimpi tidak tercapai. Pesimis? Iya. Saya sendiri pun heran mengapa ketakutan ini semakin besar dan tidak bisa saya atasi.
Misi terbesar dalam waktu dekat yang harus saya raih setelah lulus kuliah adalah melanjutkan kembali pendidikan master degree di universitas impian saya. Sayangnya, saya bukan berasal dari keluarga kaya raya tujuh turunan yang bisa dengan gampang merengek sekolah ke luar negeri dengan uang orang tua, tabungan saya selama bertahun-tahun pun tidak akan cukup membiayai hidup saya disana. Saya tahu diri untuk akhirnya memutuskan mencari orang-orang baik hati yang mau memberikan beasiswa. Impian sekolah ke luar negeri bukan mimpi saya satu atau dua tahun lalu. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4, dengan polosnya saya sudah teriak-teriak ingin sekali jadi profesor, meskipun belum tahu profesi seperti apa itu kelak. Ternyata, mimpi itu jadi awet sampai saya akhirnya lulus kuliah, ya, walaupun sekarang tidak berpikir lagi ingin jadi guru besar, impian sekolah master di luar negeri dan keliling dunia tetap jadi harapan terbesar saat ini.
Sejak Kementrian Keuangan me-release­ ­­program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) beberapa tahun lalu, saya sudah mengintip dan mencari info sebanyak mungkin. Setelah lulus kuliah dan wisuda, akhirnya fase ini dimulai. Mulai daftar kesana kemari, kampus mana yang mau menerima mahasiswa cantik, eh maksud saya mahasiswa biasa seperti saya. Untuk mempermudah persiapan, saya mulai membuat daftar prioritas kampus yang dituju, antara lain Wageningen University, Birmingham University, dan Sydney University (berdasarkan urutan teratas). Dalam waktu 6 (enam) bulan, Alhamdulillah Allah mempermudah semuanya dan saya berhasil mendapatkan Conditional LoA saat itu.
Ternyata jalan terjal masih panjang, masih harus melewati bukit, jurang, danau, hutan, masih banyak yang harus dilalui sampai akhirnya bisa melihat pelangi. Pekerjaan saya saat itu sebagai Human Resource Consultant yang menuntut saya harus keliling Indonesia dan dinas keluar kota selama 1 (satu) tahun membuat saya harus menyusun strategi sebaik mungkin dalam mengatur waktu (waktu makan, tidur, main juga). Sudah sempat berhasil menaikkan berat badan di angka 47 kilogram dalam waktu 6 bulan, tapi semesta ingin saya tetap langsing, 41 kilogram. Pekerjaan yang saya jalani sejujurnya sangat membantu. Segi finansial, tepatnya. Semenjak lulus kuliah, orang tua pasti berharap anaknya sudah bisa mandiri, dan itu yang selalu jadi motivasi saya untuk bekerja lebih keras. Tidak ingin lagi membebani. Sudah waktunya berdiri sendiri. Untung saja, saya punya atasan dan rekan kerja yang sangat kooperatif. Hasil kerja keras selama beberapa bulan, selalu saya sisihkan untuk biaya les IELTS, pembayaran pembelian formulir pendaftaran universitas yang sangat menguras dompet, biaya tes IELTS, dan persiapan master degree. Saya harus bersyukur dipertemukan dengan salah satu orang baik yang begitu berperan besar, Pak Taufik. Akibat kurang tidur dan sakit H-1 sebelum tes IELTS, skor saya jauh diluar ekspektasi, alias tidak tepat sasaran. Sempat drop, bukan karena malas belajar (lagi), tapi artinya, saya harus kembali menyisihkan gaji bulan depan untuk tes berikutnya. Pergi pulang Jakarta-Bogor setiap hari, berangkat pukul 4 subuh, dan tiba dirumah pukul 22.00 sudah jadi rutinitas sehari-hari yang membuat saya selalu tidak punya waktu cukup untuk belajar dan mempersiapkan syarat administrasi lainya. Lagi-lagi, saya beruntung, Pak Taufik, memberikan saya jatah libur beberapa hari dari pekerjaan dan membiayai tes IELTS saya, bahkan menyewakan satu kamar hotel di avenue  agar saya tidak perlu menahan ngantuk saat tes karena berangkat sebelum matahari terbit (masih tidur). Alhasil, saya mampu memperoleh nilai IELTS sesuai target, meskipun terlambat dari waktu yang saya rencanakan, tapi tidak ada kata terlambat untuk berjuang.
Seluruh essay dan syarat administrasi LPDP sudah lama saya siapkan, sekitar 1 tahun sebelum pendaftaran. Setiap weekend, selalu saya habiskan untuk mengunjungi acara sosialisasi beasiswa dan pameran pendidikan di ibu kota dengan harapan tidak ketinggalan info. Yes, when there is a will, there is a way, isn’t it? Pada saat pendaftaran berkas, di formulir LPDP saya sempat sangat kecewa, karena rencana awal berantahkan. Harusnya saya bisa sekolah di awal tahun 2016, tapi lagi-lagi gagal. Sebelum apply LPDP, ada beberapa lembaga beasiswa juga yang saya daftarkan, namun tidak ada yang lolos. Menyerah? Sudah. Bahkan sangat sudah menyerah. Saya sendiri tidak yakin bisa lolos LPDP dari sekian ratusan ribu pendaftar di Indonesia.
Apa yang membuat saya pesimis? Pekerjaan yang saya jalani selama setahun terakhir ini adalah sebagai HR dan Public Speaking Trainer di perusahaan BUMN, sesekali juga menjadi freelancer sebagai analis suatu LSM lingkungan. Tidak ada korelasi sama sekali dengan latar belakang pendidikan saya sebagai lulusan Ekonomi Lingkungan dan Sumberdaya Alam, ditambah lagi dengan achievements yang lebih banyak fokus di Environmetal policy diplomacy, bukan sebagai praktisi. Intinya, hanya saya dan Tuhan yang tahu apa sudah tergambar di alam pikiran saya. Sulit dijelaskan.
Ketakutan itupun terjadi, sebelum saya mengikuti tahap tes substansial (interview), sengaja saya membuat list pertanyaan yang kira-kira akan muncul, dan betul sekali, salah satunya adalah mengapa saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di bidang Environmental Science, sedangkan pengalaman saya lebih banyak berkaitan dengan diplomacy area. Saya mampu menjawab dengan baik, tapi lagi-lagi interviewer pasti ingin lebih diyakinkan. Hampir 1 (satu) jam saya harus mampu menahan emosi dan menjawab pertanyaan dengan tenang. Satu pertanyaan yang membuat saya hampir saja menangis di depan interviewer adalah saat ditanya, “Mengapa kami harus memberikan kamu kesempatan?” Saya pun menjawab, “Ini bukan sekedar mimpi seorang Deanty, tapi ini mimpi orang tua, sahabat, dan orang-orang yang saya sayangi, dan saya harus membuat mereka bahagia.”, menjawab dengan mencengkram kedua tangan saya. Rasanya waktu itu ingin lari keluar ruangan dan teriak.
Sepulang seleksi, saya seperti orang baru putus cinta (katanya). Seharian mengurung diri di kamar, tidak makan, dan hanya menangis, menyesali bahwa saya belum melakukan yang terbaik. Keesokan paginya, setelah bangun tidur, hal pertama yang saya lakukan adalah masak dan makan. Sadar belum makan seharian kemarin dan perut terasa lapar, merasa seperti orang bodoh, kenapa saya seperti itu. Sebulan menunggu pengumuman, saya yakin tidak akan lolos. Suatu hari pulang kantor, saya membuka laci dan mencari dokumen LPDP, dan membuangnya ke tong sampah belakang rumah. Tidak mau lagi mengingat, tidak mau lagi melihat, bahan hal terburuk adalah tidak mau lagi mencoba. Menyerah saja. Beberapa kali ditolak, jatuh bangun, saya sudah lelah. Saya tidak mungkin sekolah lagi. Apalagi di negara orang.
Sampai suatu hari saya sedang makan menunggu teman-teman untuk janjian buka puasa bersama di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, saya sedang asik main handphone. Sebuah email masuk dan dengan santainya, saya tidak membuka dan malah melanjutkan scroll down melihat timeline path yang lebih menarik saat itu. 30 menit setelahnya, saya pun mengecek inbox dan melihat bahwa email yang barusan masuk tertulis subject: Pengumuman Seleksi Beasiswa. Jari-jari lemas, anehnya tidak ada rasa takut bahkan deg-degan saat membuka. Koneksi internet jelek, tapi saya juga tetap tidak penasaran, hingga akhirnya saya melihat tulisan “SELAMAT ANDA LOLOS”. Seketika saya menitikkan air mata, teman-teman belum ada satupun yang datang, waitress di resto yang tadi melayani saya juga bingung dan hanya bisa memperhatikan mengapa saya menangis, sampai akhirnya ia mengantarkan beberapa helai tisu di meja tapi tidak berkata apa-apa. Keluarga yang duduk disebelah saya juga hanya melihat dan saling berbisik. Mungkin mereka mengira saya baru patah hati. Setelah kurang lebih 10 menit menangis dan gemetaran, saya segera menghubungi kedua orang tua saya di Pontianak. Mereka bahkan sungguh tidak percaya, dan hari itu bertepatan dengan ulang tahun ayah saya, 11 Juni 2016. Jadi hadiah terindah untuk ulang tahun Papa, yang tidak aka pernah kami lupakan. Merinding, menangis, bahagia. Terima kasih, Tuhan. 

Comments

  1. Aku jadi ikut terharu dee bacanya i thought that u have passed the exam directly after our ielts class finished. However, u've struggled and kept moving forward to attain the scholarship. It encourage me dee. Keep moving forward and inspiring dee🖒😊

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Campus Life be Like

Time flies so fast. Really. Ternyata sudah hampir dua bulan aku melewati salah satu fase baru di hidup (ciyeeee as if newly couple ), maksudnya my master study life in Wageningen, desa sepi nan indah di Belanda ( trust me,  gak bakal ada turis dari Indonesia yang intenationally  kesini kalau bukan punya temen, saudara, atau kerabat yang tinggal di desa ini).  Well, sebelum semakin larut dan makin banyak jurnal yang dianggurin (gatel pengen nulis sekarang, anaknya ga sabaran, mumpung jam 12 malem jadi ga merasa berdosa). I'll make this story started now. Aku mungkin harus cerita lebih dulu tentang kota ini, eh maksudnya desa ini, dan segala isinya, supaya yang baca bisa sedikit membayangkan.  1. Apa dan Dimana Wageningen, Wageningen University and Research itu? Wageningen hanyalah kota kecil yang terletak di provinsi Gelderland, Belanda. Jumlah populasinya hanya sekitar 39.000 penduduk saja (populasi Garut masih 5x lebih banyak dari ini,  https://en.wikipedia.org/wiki/Garu

Tidak Terlihat tapi Terasa...

Dewasa ini, banyak orang di usia akhir masa remaja hingga pertengahan 30 tahunan mengalami gangguan panik. Awalnya dianggap sepele, namun ternyata bisa berdampak negatif untuk pengembangan diri dan interaksi dengan orang disekitarnya, Ternyata, peremuan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan gangguan panik ini. Gangguan panik ini tidak hanya sekedar gangguan yang sifatnya temporer, tapi bisa jadi permanen apabila tidak disembuhkan. Gangguan panik ini dalam medical terms dikenal sebagai Anxiety Disorder.  \ Salah satu blog yang saya baca, menyebutkan bahwa salah satu gejala terbesar dari penyakit psikis ini adalah rasa takut yang persisten akan adanya serangan berikutnya, atau rasa cemas (misalnya, takut kehilangan akal atau menjadi gila, terkena serangan jantung, bahkan takut mati). Salah satu dampak buruk lainnya adalah, penderita takut berada di keramaian dan lebih cenderung memilih di rumah, sebisa mungkin menghindari mobilitas di luar rumah karena takut