Skip to main content

Campus Life be Like

Time flies so fast. Really. Ternyata sudah hampir dua bulan aku melewati salah satu fase baru di hidup (ciyeeee as if newly couple), maksudnya my master study life in Wageningen, desa sepi nan indah di Belanda (trust me, gak bakal ada turis dari Indonesia yang intenationally kesini kalau bukan punya temen, saudara, atau kerabat yang tinggal di desa ini). 
Well, sebelum semakin larut dan makin banyak jurnal yang dianggurin (gatel pengen nulis sekarang, anaknya ga sabaran, mumpung jam 12 malem jadi ga merasa berdosa).
I'll make this story started now. Aku mungkin harus cerita lebih dulu tentang kota ini, eh maksudnya desa ini, dan segala isinya, supaya yang baca bisa sedikit membayangkan. 

1. Apa dan Dimana Wageningen, Wageningen University and Research itu?
Wageningen hanyalah kota kecil yang terletak di provinsi Gelderland, Belanda. Jumlah populasinya hanya sekitar 39.000 penduduk saja (populasi Garut masih 5x lebih banyak dari ini, https://en.wikipedia.org/wiki/Garut_Regency. Awalnya, aku seneng banget begitu tau Wageningen ini kota kecil, ga terlalu crowded. Untuk orang yang sempet tinggal di kota besar sejak kuliah S1 dan pernah mencari nafkah di ibukota, exactly I was too excited. Aku ngebayangin suasananya yang tenang, waktu lebih produktif karena ga akan ketemu macet saat pergi dan pulang, dan sepengalamanku beberapa kali mengunjungi beberapa desa di tanah Eropa, tapi tata kota nya tetap modern dan klasik dengan bangunan-bangunan tuanya. Biasanya mau masuk pintu KRL harus main sikut-sikutan dengan penumpang lain, belum lagi posisi berdiri yang super ga nyaman di dalam KRL, muka sampe nempel ke jendela, kaki ga napak ke lantai, karena sudah ditahan penumpang lain dari sudut kanan-kiri, depan-belakang. 
Tibalah di Wageningen, dan.................................................................................................
Ini seperti kota mati. Bahkan lebih sepi kalau dibandingkan dengan lokasi penelitianku di pelosok Kalimantan, yang harus naik speedboat lagi selama 3 jam setelah perjalanan darat dengan mobil selama 4 jam. Pada saat aku datang, saat itu sedang musim dingin, which is malam lebih panjang daripada siang. Pukul 09.00 matahari baru terbit, dan 16.00 langit sudah mulai gelap, semua toko dan supermarket sudah tutup pukul 16.00. Bahkan di Hari Senin, beberapa toko buka pukul 11.00. Pernah waktu itu, aku lagi sibuk ngurusin akun bank Belanda, supaya bisa lebih mudah transaksi sana sini tanpa cash, dengan semangatnya hari Senin pukul 09.00 aku udah siap berangkat ke Bank. Kaget banget pas sampe depan pintu, tertulis "closed' ternyata di hari Senin, bank buka pukul 13,00 dan tutup 17,00. Toko-toko di pusat kota atau lebih dikenal Centrum, semua tutup di hari Minggu. Kejadian konyol lainnya, charger hp ku rusak di Minggu pagi, belum mandi dan beberes kamar, aku langsung berangkat ke Centrum, dan sampe sana ga ada satupun toko yang buka. Alhasil aku harus nunggu sampe hari Senin siang untuk bisa beli charger. On Sunday, you'll find all doors closed, termasuk rumah, hanya sedikit orang yang beraktivitas di luar, dan kebanyakan ngajakin anjingnya jalan-jalan. Ini terlalu sepi dari yang aku bayangin. Belanda dikenal juga sebagai cycling city, karena transportasi utama masyarakat disini menggunakan sepeda. Jangan salah, bukan cuma anak muda, kakek-nenek, bapak-ibu juga pake sepeda kalau pergi kemana-mana, bahkan di setiap toko sepeda dijual closed buckfeet, semacam gerobak kayu. Jadi, anak-anak bisa duduk disitu dengan aman kalau sedang pergi bersamaan. Eh, ada sejarahnya loh kenapa akhirnya Belanda jadi kota Sepeda. Dulu masyarakat Belanda lebih banyak menggunakan mobil, tapi jumlah kecelakaan makin tinggi setiap tahunnya karena banyak orang-orang di bawah pengaruh alkohol atau mabuk dan nyetir sendiri saat pagi dan malam hari, banyak ibu dan anak yang sedang jalan dipinggir jalan justru jadi korban. Alasan lainnya adalah karena kurangnya pasokan bahan bakar yang tersedia, alhasil harga bahan bakar disini sangat mahal. Bike booms terjadi di tahun 1811, semua orang mulai beralih menggunakan sepeda. Another things I like about NL, ga terlihat strata sosial sama sekali, bahkan orang-orang mampu juga menggunakan sepeda untuk beraktivitas, justru ini udah jadi kebiasaan orang-orang di Belanda. Selain ramah lingkungan, juga baik untuk orang-orang yang ga sempet olahraga tapi pengen sehat karena mereka harus mengayuh sepeda setiap hari. 

Source: google
Belanda, khususnya Wageningen menurutku negara dan kota yang ramah untuk muslim dan muslimah. Sebagai negara pertama yang melegalkan LGBT, mereka sangat menghargai segala perbedaan, termasuk dengan kita yang berpenampilan serba tertutup, menggunakan jilbab. Bahkan, di Wageningen, aku masih bisa makan ayam goreng dan bikin bakso sesuka yang aku mau, banyak toko yang khusus menyediakan bahan makanan halal, termasuk supermarket biasa yang sudah menyediakan rak tersendiri khusus untuk ayam dan daging halal. Harganya juga ga jauh beda dengan ayam dan daging biasa yang ga berlabel halal. 
Surga duniawi lainnya yang bisa ditemukan di Wageningen adalah SAYUR BUAH DAN SUSU (aku ga bakal bosen cerita ini berkali-kali). Meskipun sudah berkali-kali aku share di manapun, menurutku ini poin paling penting, masalah perut. Maklum, lidah terlalu Indonesia, ga bisa makan pasta atau western food kalau harus setiap hari (jadi inget, kalau lagi main ke cafe di Indonesia, pesennya ala barat, kayak pasta atau fish and chips, karena harganya relatif murah dibanding nasi timbel wkwk). Untungnya, Wageningen rasa Indonesia. Selain masyarakat Indonesianya paling banyak ketiga setelah Den Haag dan Groeningen, banyak toko asia yang menjual produk asli Indonesia (kecuali TERASI YA!), disini apa aja ada, ya walaupun ga selengkap pasar anyar atau pasar bogor sih :( 
Selama kesini jadi punya hobi baru, main ke supermarket! Gimana ga geregetan kalo orang kayak aku yang suka banget makan buah dan minum susu cokelat nemuin harga yang sangat sangat sangat sangaaaaaaat miring! 1,5 liter susu cokelat yang rasanya enak banget cuma seharga 1,71 euro, biasanya di Indonesia mikir-mikir kalau mau beli kiwi atau strawberry, sekarang justru jadi cemilan sehat, karena harganya cuma 1,5-2 euro per kilogram dan masih seger. Sayur disini juga jarang menggunakan pestisida (jadi keinget Silent Spring), mostly organic agriculture. Makanya lebih ga tahan lama kalau beli sayur meskipun udah disimpen di kulkas. 

Kalau ke Belanda, jangan lupa nyobain Kibbeling sejenis ikan digoreng dengan bumbu dan dimakan dengan kentang goreng dan saus mayonnaise. Setiap Rabu dan Sabtu juga selalu digelar Opmarkt atau bahasa inggrisnya Open Market, disini petani menajajakn langsung hasil pertaniannya dengan harga miring, dan ini serentak di seluruh kota di Belanda. Biasanya selalu ada stand yang jual Kibbeling disini dan jadi snack favorit Ducth selain Poffertjes. 

Kibbeling

Kota pertama yang aku kunjungi di Belanda adalah Amsterdam, di tahun 2014, dan menurutku kota itu sudah cukup sepi, tapi sangat nyaman dan teratur, sampai akhirnya dulu sering banget bilang sama diri sendiri, "One day, aku harus bisa ngerasain tinggal disini beberapa tahun..", dan ternyata khayalan bisa aja jadi kenyataan kalau ada effort dan do'a #wkwk. 
Setelah tau aku diterima beasiswa LPDP, aku memutuskan untuk resign lebih cepat karena berbagai alasan, misalnya, supaya bisa lebih banyak menikmati quality time dengan keluarga dan orang-orang dekat, bisa lebih mudah mempersiapkan urusan administrasi keberangkatan dan lebih banyak istirahat (maksudnya supaya ga perlu pergi subuh, pulang malem Senin-Jumat lagi). Beberapa keluarga dan teman-teman penasaran, "De, lo keterima di kampus apa sih?", pertanyaan ini selalu ditanya dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun, sampe akhirnya aku selalu jadiin jokes saat menjawab, "Duh, gak tau kampus apaan. Ga terkenal kayak Oxford kok.", tapi ternyata justru menambah rasa penasaran. Wageningen University, well, perhaps, kalau aku dulunya ga kuliah di IPB, aku juga belum tentu familiar dengan kampus ini, karena memang area focus nya lebih banyak tentang Pertanian dan Lingkungan, dan belum banyak masyarakat kita yang melek tentang kedua isu ini. Macem-macem responnya, "Hah, itu dimana ya? Negara apa ya? Bagus gak? Jangan asal loh kalau kuliah di luar negeri.." dan masih banyak respon lainnya. "Ngambil jurusan apa? Lingkungan? Prospeknya bagus ya? Ekonomi lingkungan? Ekonomi bisnis gitu ya." (ini yang paling ridiculous menurutku -_-).
Dulunya, Wageningen dikenal dengan sebutan Landbouwhogeschool Nederland (Netherlands Agricultural College), kalau ada yang sudah pernah nonton Negeri Van Oranje, Wageningen disebut sebagai IPB nya Belanda, dan sudah didirikan sejak tahun 1876 sebagai basis pendidikan dan riset pertanian Belanda. Pada tahun 2016, Wageningen University and Research berada di posisi ke-empat kampus terbaik based on subject of Environmental Science oleh QS Ranking World https://www.topuniversities.com/university-rankings/university-subject-rankings/2016/environmental-studies#sorting=rank+region=+country=+faculty=+stars=false+search=, dan bisa dibilang itu jadi salah satu pertimbangan pada akhirnya aku memutuskan untuk menetapkan hati pada Wageningen. Awalnya sempet bingung sih, karena saat itu aku apply 4 universitas yang berbeda, Birmingham, Nottingham, dan Sydney University dengan major International Relations (Sustainable Development), tapi setelah berdiskusi dengan beberapa dosen, keluarga, dan melihat market #aseek, sepertinya Wageningen akan jadi start yang tepat.dengan jurusan Enviromental Science. Menariknya, disini aku bisa pilih spesialisasi kayak pendidikan dokter, sesuai dengan minatku. Jurusan Environmental Science sendiri punya 10 spesialisasi atau disebut thesis track (http://www.wur.nl/en/Education-Programmes/master/MSc-programmes/MSc-Environmental-Sciences/Thesis-tracks.htm), dan setelah perdebatan batin yang panjang antara interest dan passion dan konsultasi dengan dosen disini,terpilihlah Environmental Economics sebagai spesialisasiku #yeay #bismillah.

Main Building - Forum Building (Library nya di dalem)


Another buildings - ATLAS 


Di gedung seberang itu ada green houseWageningen yang terkenal
dan pernah ada di film Negeri Van Oranje


Tampak depan. Fotonya jelek, lagi mendung.


Tampak dalam gedung ATLAS

2. Gimana sih lingkungan dan sistem belajarnya?

Kuliahku baru dimulai tepat 1 minggu lalu, dan rasanya seperti............  kerja rodi (#ups). Aku adalah mahasiswa dengan intake kuliah Februari which is intake paling aneh menurutku dan menakutkan kata orang-orang. Intake Februari harus melewati period 1,2, dan 3 dan langsung memulai kuliah di periode 4 yang jelas mata kuliahnya lebih advanced dibandingkan dengan periode sebelumnya. Disini, sistemnya ga menggunakan semester tapi periode, dalam satu tahun, ada 6 periode, berarti untuk master study 2 tahun menghabiskan total 12 periode hingga lulus dan mencapai ECTS atau European Credits yang disyaratkan (Kalau di Indonesia dikenal SKS). Pertama kali datang kesini dan ketemu mereka yang lebih duluan masuk, sedikit merasa takut dan terbebani. Why? Pertama, karena takut ga bisa catch up dengan pelajarannya. Kedua, takut ga bisa catch up dengan orang-orangnya. Meskipun ini bukan pertama kalinya aku ketemu dan berinteraksi cukup lama dengan orang asing atau native speaker, tapi pasti selalu ada kondisi dimana kita ngerasa terancam dan ga nyaman karena jadi minoritas, well not limited toreligion, tapi lebih mengarah ke habit dan culture. Kadang-kadang aku ngebayangin 2 tahun, toleh kanan-kiri semua orang sibuk ngobrol dengan bahasa yang kita ga paham. Meskipun disini belajar mengajar menggunakan bahasa Inggris, tapi somehow Dutch tetap menggunakan bahasa belanda saat berkomunikasi sehari-hari di luar kelas, and I feel so annoyed, kalau mereka tengah berbincang bahasa belanda dan aku ada di antara mereka, dan inilah yang membuat aku pengen banget belajar bahasa Belanda sesegera mungkin. (Kok ga mulai-mulai?) Ternyata peminat kelas bahasa belanda di Wageningen Campus sangat banyak. Minggu pertama tiba di Wageningen, aku langsung datang ke pusat bahasa dan pengen langsung daftar, tapi ternyata ga semudah itu, karena kelas sudah penuh dan baru akan dibuka kembali di Bulan September 2017. Semoga aku diberikan kesabaran kalau tiba-tiba roaming saat kerja kelompok mereka ngomong Belanda (Maksudnya sih biar tau mereka gosip apa). 
Lingkungan belajar disini sama apa gak dengan di Indonesia? Clearly, I state it's totally different. Kenapa bisa begitu? 
1. Finding out what you want to achieve.
Aku ga tau apakah memang seluruh kampus di luar negeri punya studying hours yang sangat ketat seperti yang aku alami sekarang, karena selama ini aku cuma ikut event jangka pendek seperti konferens, jadi ya bisa dibilang ini cukup sulit buat aku beradaptasi, lebih sulit dari beradaptasi dengan cuaca dan suhu, responnya bisa dengan tidur cukup, minum air putih dan makan banyak sehat dan bergizi. Begitu tau aku masuk Wageningen, aku langsung cari informasi ke beberapa senior yang juga melanjuktan S2 nya di Wageningen. Nasehat mereka semua hampir sama, jangan pernah gak belajar setiap hari, even if cuma 1 atau 2 jam di weekend. Anggep belajar kayak makan 3x sehari, kalau ga makan sakit, begitupun kalau ga belajar. Kebayang kan? #wkwk
Hari pertama orientasi, aku jadi paham kenapa harus kerja extra keras disini, karena peringkat kampus ini di dunia ga sembarangan, otomatis standard yang dibuat juga tinggi supaya kualitasnya tetap baik. Saat orientasi aku dijelaskan bahwa setiap mahasiswa disini, baik bachelor maupun master, punya study advisor, mungkin kalau di Indonesia dikenal dengan Dosen Pembimbing Akademik. Satu bulan sebelum kuliah dimulai, aku diagendakan bertemu Study Advisor, agendanya bahkan tertulis sangat jelas dan dikirim oleh WUR beberapa minggu sebelumnya via email. Lumayan deg-degan dan penasaran kira-kira akan seperti apa interviewnya. Ternyata ga semenakutkan yang dibayangkan. Dosenku sangat kooperatif dan open minded. Agenda pertemuan selama satu jam itu dihabiskan dengan 'curhat' antara aku dan dia (#eaaa). Aku ditanya beberapa poin pertanyaan yang sudah ada di email, misalnya, apa interest dan cita-citamu, pengen kerja dimana sesudah lulus, apa yang pengen kamu dapatkan selama kuliah disini. Menarik, aku ditanya se-detail itu. Bahkan diskusi sudah sampai mengarah ke thesis yang padahal masih 2 tahun lagi. Aku diarahkan untuk mengambil mata kuliah apa saja di periode 4 dan 5 yang bisa memenuhi hasrat ingin tahu dan membantu menyusun thesis di tahun kedua. Well arranged!!!!!! Diskusi ga berasa kama, karena rasanya lebih kayak ngobrol sama temen sendiri.
Hari pertama kuliah, aku disuguhkan dengan beberapa slide yang memperkenalkan jurusan dan output yang ingin dicapai. Uniknya, di awal kuliah kami disambut dengan satu pertanyaan "apa yang ingin dicapai setelah belajar ini? apa yang ingin kalian ketahui?". Seolah-olah sang dosen ingin memenuhi satu per satu keinginan mahasiswa. Suasana kelas juga sangat dynamic tapi tetap teratur. Ga ada rasa takut untuk angkat tanya, sekedar nanya atau ngasih saran dan kritik. Bahkan di awal perkuliahan dimulai, dosenku ini terus-terusan bilang, "It's social science, so if you disagree with me, please point out yours, it's not absolut.." dan terbukti, ga sampe 30 menit kelas berjalan, kelas kuliah berubah jadi ruang diskusi yang real, semua orang bebas mengkritik dan kasih idea apapun. This is what I have been dreaming since long time ago, a dynamic discussion. Ga takut angkat tangan, ga takut banyak nanya, ga takut akan kritik, ga ada rasa takut dan ga enak sama sekali. Everyone enjoys that. Lebih unik lagi, mata kuliah pertama yang aku ambil di periode ini adalah Principles of Environmental Science, mata kuliah dasar yang linier dengan beberapa fields, alhasil dalam satu kelas itu, ga cuma berasal dari 1 jurusan yang sama, enviromental science, tapi ada soil biology, applied communication, urban planning, mulai dari science sampe social science jadi satu, dan well sesuai dengan matakuliah yang yang integrated dan interdisciplinary. Melihat satu kasus dari berbagai sudut pandang dan disiplin ilmu. Menarik!!!! 
Satu hal yang menurutku perlu banget aku share adalah, jangan pernah takut speak up. Selama seminggu ini aku mengikuti flow studying and debating selama diskusi, aku bisa ambil hipotesis dari sudut pandang aku sendiri kalau Indonesia punya generasi muda yang pekerja keras dan cerdas. Jadi keinget waktu group work pertama ku disini, anggota kelompok ku ada yang berasal dari Belanda, Jerman dan Uzbek. Well personally, mereka orang yang baik dan asik. Sistem kerja kelompok disini unik, tiap kelompok terdiri dari 4-5 orang dan masing-masing didamping 1 orang asisten dosen yang hanya boleh mengarahkan jalannya diskusi, tidak menyentuh konten. Hanya memastikan kalau setiap orang punya hak bersuara yang sama. Aku suka dengan sistem kerjanya, terutama perjanjian dan kesepakatan yang dibuat sebelum dimulai, dan semua orang sangat mematuhi, misalnya ga boleh telat, izin harus beberapa hari sebelumnya, bahkan setiap orang inisiatif untuk bikin agenda ketemu selama 1 minggu kedepan supaya semua orang bisa merencanakan kegiatan laiinnya, untuk ketemu diskusi proposal riset dan aku sedikit kaget tapi juga suka dengan prinsip orang sini yang to the point, disaat mereka ga suka sesuatu mereka akan dengan tegas bilang ga, ga akan ada omongan di belakang atau setelahnya (ya adalah ya mungkin ghibah gitu), tapi urusan akademik dan pekerjaan, kalo mereka ga puas sama sesuatu mereka akan complaintlangsung dan itu berlaku buat kita juga. Ga ada istilahnya kerja kelompok, anggotanya menghilang, telat, ga konfirmasi, ga ngerjain, atau less contributive. Semua harus serba trasnparan. Ga pake istilah baper dan tersinggung. Kalo merasa ada anggota yang ga kerja, kita boleh banget kick dari grup. 
However, yang bikin cukup sebel adalah mereka (di kelompok ku aja mungkin), cenderu meremehkan tugas kelompok pertama ini, dan aku yang terlalu ketakutan. Gimana ga? PERIODE TERPENDEK ADALAH PERIODE 4, 3 MINGGU DAN LANGSUNG UJIAN. Padahal ini adalah proposal riset pertamaku disini dan ga mau sampe failed. Mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan sistem belajar dan ga terkendala bahasa, jadi baca jurnal 10 judul bisa beres dalam 1 malam, mereka orang asli dan ga dengan aku yang literally everything is different here, mulai dari open debate sama dosen, self study, periode pendek, dan lain-lain. Semua orang di sini percaya nilai bukanlah indikator utama. Nilai rendah pas exam tertulis bisa jadi ada faktor karena kita ga terbiasa nulis jadi maksud dari penjelasan kita ga tersampaikan dengan baik, atau saat ujian oral atau presentasi yang jelek bisa jadi karena skill public speaking kita yang masih perlu diasah, or other way around. Semua cuma masalah kemauan dan usaha. 

2. Studying Hours
Seriously, selama 23 tahun, baru kali ini aku ngerasain fase belajar paling serius dan beban, Kalau dulu, kuliah terus ngantuk, bisa tidur di kelas dan ga khawatir apa-apa. Kalau jadwal kuliah cuma pagi sampe siang, senengnya minta ampun karena sorenya bisa main, makan basko (bakso terus ya, maaf lagi ngidam bakso pontianak sama seuseupan), atau sekedar ngopi sama temen-temen atau bahkan tidur dirumah dan nonton korea. Sekarang, jadwal kuliah yang padat setiap hari dari pukul 8.30-17.00, belum lagi modul yang bertumpuk, puluhan jurnal internasional yang minta banget dibaca dan diresume setiap harinya. Oh iya, sebelum masuk detail ke cerita ini, aku mau kasih tau, disini setiap 45 menit kelas kuliah, selalu ada break selama 15 menit. Alasannya, supaya otak kita bisa beristirahat sebentar dan lebih mudah menyerap materi. Jadi, misalnya aku kuliah jam 8.30, jam 9.15-09.30 kita akan dikasih waktu istirahat untuk sekedar minum kopi, ke toilet, atau tidur sebentar. Untungnya, di setiap sudut lorong gedung selalu ada coffee machine dan vending machine yang tinggal tapped pake kartu mahasiswa, tanpa harus pegang uang cash. Sistem belajar gini dipercaya lebih efektif untuk mahasiswa maupun dosen, jadi ga akan ada yang bolak balik ke toilet saat dosen sedang menjelaskan.
Balik lagi ke studying hours, di hari pertama kuliah aku dikasih selebaran kertas yang isinya petujuk jam belajar. Maksudnya? Ya, jadi tim jurusan dan mata kuliah masing-masing membuat guidelines, berapa jam dalam sehari yang harus kita habiskan untuk mempelajari: review catatan kuliah, modul, jurnal,mengerjakan tugas, dan belajar untuk exam, within the total hours is 186 hours to pass the course (cuma 1 mata kuliah loh ya ini). 
Kedengarannya melelahkan? Iya, aku ga bakal bilang ga hahaha. Tapi, udah 1 mingu terlewati dan mulai menemukan kunci supaya ga merasa lelah. Balik lagi ke prinsip yang pertama, anggep belajar itu kayak makan, kalau makan ga teratur dan banyak bisa sakit, gitu juga dengan belajar. Setiap Minggu aku potong sayur dan ungkep ayam/tempe/ikan/udang untuk 1 minggu, supaya setiap pagi sebelum kuliah tinggal goreng dan tumis untuk bawa bekel ke kampus (supaya hemat). Makanan di kantin kampus cukup murah sebenernya sekitar 3-5 euro, tapi lumayan juga kalau harus tiap hari, belum dihitung kalau suka pengen jajan ini itu. #ANAKNYAHOBIJAJAN
Senin sampai jumat setiap pulang kuliah, setelah masak dan makan malam, aku selalu muter playlist favorit 1-3 lagu dan setelah selesai langsung mulai mengulang catatan kuliah dan menonton kembali video kuliah hari itu. Sabtu dan Minggu ini pun juga begitu, dan seterusnya, ya palingan dikurangin sedikit waktu belajarnya hehe. Kenapa se ekstrim itu? Well, untuk orang yang punya tanggung jawab moril yang besar dan amanah ke negara, sekolah ke luar negeri ga bisa main-main. Apalagi, kita yang sehari-hari ga terbiasa dengan sistem seperti ini dan bahasa yang bukan mother language, harus bekerja lebih keras untuk bisa memperoleh dan memberikan sesuatu pas pulang nanti. Pernah denger (ga tau ini bener apa ga) untuk dapetin nilai 8 di oz setara dengan 5,5 disini. Apapun itu fakta atau isu nya, usaha lagi-lagi ga pernah mengkhianati hasil, toh. Mau kuliah dimana aja, kalau serius bisa memetik buah manis di perjalanan. 
Intinya, jalani sesuatu dengan serius, termasuk sekolah. Kalau kamu yang baca masih ada di bachelor sekarang, mulai terapin sistem belajar yang lebih ketat, ga ada salahnya, hasilnya juga buat diri kita sendiri. Sampe sini, agak nyesel, dulu belajar ga dihayati. Sementara disini, saat kuliah ada bagian yang kita ga paham, hari itu juga harus kita cari tahu solusi dan penyelesaiannya sampe paham supaya ga ada yang dipendam #eaaa. 
Doain terus ya supaya program penggemukan badanku ga gagal gara-gara ini hehe. Semagat untuk teman-teman yang akan dan sedang mengalami hal yang sama. Segera disiapkan, fisik maupun mental notably! Semoga bermanfaat. Tulisan di atas cuma opini dan bersifat normatif, jadi bisa debatable kapan saja, ambil positif nya saja ya! :)
*lanjutbukakitab*





Comments

Popular posts from this blog

Satu lagi Mimpi..

Rabu, 9 September 2015  jadi salah satu hari bersejarah untuk beberapa mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), tapi tidak untuk saya. Ya, hari kelulusan pun tiba. Setelah empat tahun menjadi mahasiswa, melewati fase yang menurut orang-orang adalah gerbang penentu kesuksesan di masa depan, akhirnya semua berakhir, tapi lagi-lagi tidak untuk saya. Sejak pertama kali memasuki bangku kuliah, wisuda bukan jadi sesuatu yang penting bagi saya, hanya sebatas ceremonial. Tapi, hari itu saya sadar mengapa orang-orang begitu menunggu momen ini. Wisuda, mungkin bukan apa-apa, tapi jadi hadiah spesial untuk keluarga dan sahabat terdekat. Euphoria nya terasa lebih mendalam ketika dihadiri dan disaksikan oleh mereka, yang rela menyempatkan waktu untuk melihat kita sesekali berbusana rapi, mengenakan toga, dan bahkan memberikan buket bunga dan boneka sebagai kenang-kenangan. Disaat semua orang menikmati kebahagiaan itu, ada rasa takut yang semakin besar menghantui pikiran saya. Rasa takut tida

Tidak Terlihat tapi Terasa...

Dewasa ini, banyak orang di usia akhir masa remaja hingga pertengahan 30 tahunan mengalami gangguan panik. Awalnya dianggap sepele, namun ternyata bisa berdampak negatif untuk pengembangan diri dan interaksi dengan orang disekitarnya, Ternyata, peremuan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan gangguan panik ini. Gangguan panik ini tidak hanya sekedar gangguan yang sifatnya temporer, tapi bisa jadi permanen apabila tidak disembuhkan. Gangguan panik ini dalam medical terms dikenal sebagai Anxiety Disorder.  \ Salah satu blog yang saya baca, menyebutkan bahwa salah satu gejala terbesar dari penyakit psikis ini adalah rasa takut yang persisten akan adanya serangan berikutnya, atau rasa cemas (misalnya, takut kehilangan akal atau menjadi gila, terkena serangan jantung, bahkan takut mati). Salah satu dampak buruk lainnya adalah, penderita takut berada di keramaian dan lebih cenderung memilih di rumah, sebisa mungkin menghindari mobilitas di luar rumah karena takut