Skip to main content

Leaving Indonesia

Selasa, 10 Januari 2017

Excited, sedih, khawatir, deg-degan semua perasaan bercampur. Masih belum percaya kalau hari ini itu tiba, setelah penantian bertahun-tahun, harapan yang gak pernah putus, usaha dan doa yang selalu dipanjatkan, akhirnya hari itu pun tiba. Saatnya mengemas segala perlengkapan, menutup dan mengunci koper. Maklum, malamnya masih ada beberapa teman dan kerabat yang tak hentinya menyempatkan datang kerumah hanya untuk bertemu dan memberikan kenang-kenangan untuk saya selama disana. Bahkan, yang satu ini juga gak pernah nyangka, sebegininya diberi perhatian oleh teman-teman, kerabat, dan keluarga. Selama seminggu sebelum hari keberangkatan, hampir setiap hari selalu menerima ajakan untuk bertemu dengan teman kuliah hingga teman sekolah dulu, mereka bahkan gak hanya memberikan sedikit waktunya tapi juga hadiah kecil sebagai kenang-kenangan untuk saya di negeri orang kelak, super cute dan touchable karena sebagian dari hadiah tersebut selalu terselip surat yang isinya sungguh positif dan mengharukan. Intinya, mendoakan agar saya selalu diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan studi disana.
And... finally.. the time has come..
Flight to Amsterdam dijadwalkan lebih awal 10 menit dari waktu sebelumya, yakni pukul 22.40, saya sudah tiba di bandara sejak pukul 19.00 dan tak henti-hentinya beberapa teman dan kerabat mendatangi Terminal 2D untuk mengantarkan saya merantau di negeri kincir selama 2 tahun. Satu per satu saya memeluk teman-teman, bahkan ada yang menangis haru (jadi salah tingkah). Terakhir, saya pamit dan memeluk satu per satu keluarga, Mama, Papa, Dhanu, Abang, Teh Andin, kali ini terasa berat sekali, apalagi waktu Mama dan Papa yang memeluk saya bersamaan, sangat kuat, sambil terus mengucap, "Papa Mama sayang kamu. Papa Mama bangga sama kamu.." Mama pun akhirnya ga kuat juga menahan rasa haru hingga menangis, dan dengan santai aku mengatakan, "Jangan nangis, Dea pergi untuk kebaikan.." Melambaikan tangan ke seluruh teman, keluarga dan orang-orang tercinta sambil berjalan memasuki pintu keberangkatan. Saya masih kuat.
Penerbangan internasional, jadi memang tidak mungkin rasanya delay. Baru sebentar duduk di ruang tunggu, pesawatku sudah dipanggil, seluruh penumpang dipersilahkan untuk naik.
Pesawat pun lepas landas. Kalau Jakarta-Amsterdam bisa ditempuh dengan kereta, Saya tentu akan lebih memilih kereta ketimbang pesawat. I hate night flight, apalagi kalau pilot sudah mengumumkan "Penumpang yang terhormat, dikarenakan cuaca yang buruk, dimohon untuk duduk kembali dan sementara waktu tidak menggunakan kamar kecil.." Sudah bisa dipastikan akan ada turbulens yang cukup berarti sesaat setelahnya. Bisa dibilang 1 jam pertama setelah take off cuaca sangat buruk, Saya harus menahan buang air kecil selama kurang lebih 1,5 jam, sembari berzikir menenangkan diri yang begitu panik karena turbulens yang begitu kuat.
Setelah pesawat melewati pulau Sumatera (lihat di map ya), turbulens sedikit berkurang dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman akhirnya dipadamkan. Banyak dari penumpang yang berdiri dan langsung menuju toilet. Lampu dalam pesawat dimatikan sepanjang perjalanan, agar penumpang bisa beristirahat. Kanan, kiri, depan, belakang, semuanya tampak bisa tidur pulas, but me. Saya memutuskan membuka satu kado yang dibungkus rapi. Subhanallah. Sebuah buku, "Mereka yang dicintai Allah". Saat itu juga, saya mulai merasa sedikit melow. TIba-tiba saja hati rasanya sakit, meninggalkan orang-orang yang kita cintai, keluarga dan teman-teman. (I blame song I listened to at that time, Chrisye-Pergilah Kasih) Bisa pas gitu ya lagu dan momen nya. Sambil memandangi foto-foto di handphone. Benar ya rasanya, kalau sudah jauh, kehilangan jauh lebih terasa.
Bahkan, sampai saat ini, saya membuat tulisan ini pun, rasanya hati ini masih berteriak-teriak ingin segera pulang dan bertemu keluarga dan para sahabat. Katanya, adaptasi tinggal di luar negeri itu butuh waktu sekitar 3 bulan, but I wish I can adapt faster hehehe. Indeed, keluar dari zona nyaman memang sulit, tapi saat kita berhasil dan bertahan dengan baik, sungguh akan banyak manfaat positif yang kita dapatkan di masa depan, yang tentunya juga akan bermanfaat untuk orang disekitar kita.
So, stay out of your comfort zone. Ketika sudah nyaman dengan suatu hal, jangan berhenti, coba explore dan gali hal lainnya, seterusnya tidak pernah berhenti belajar.

Jadi mau cerita sedikit tentang beberapa respon orang lain yang bermacam-macam saat tau saya akan melanjutkan sekolah di luar negeri sekitar 1-3 tahun. Banyak diantaranya yang memberikan dukungan positif, tapi tentu ga sedikit juga yang tampak meresponnya dengan kurang baik (i dont wanna say 'negative'). "Nanti, kalau kamu lulus berarti umurmu sudah 26 tahun ya?" "Gak takut nikah lama?" "Emang ada yang mau nungguin, hati-hati loh.."
Respon paling...... aagh.. "Kalau saya mau aja sebenernya sekolah lagi, tapi takut nanti gak bisa jadi istri teladan, terlalu sibuk mengejar karir, lupa kodrat.." and so on...... 

Well, kita memang gak pernah bisa membuat semua orang punya pemahaman yang sama dengan kita, but c'mon.. could you just appreciate what people choose.. 
I'm not married yet, yes. I'm still learning many things, belajar menjadi perempuan seutuhnya (loh?), belajar jadi wanita mandiri, bahkan belajar jadi istri dan ibu yang baik kelak.
Menutrut saya, setiap orang dalam hidupnya selalu punya pilihan tersendiri, dan yang mana yang menjadi prioritas tentu sudah dipertimbangkan secara matang oleh setiap individu. Apapun itu, that's your choice, and I always should respect each of it, so should people. Gak masalah, ibu rumah tangga, wanita karir, wanita tetaplah wanita. Belajar bisa dimana saja dan kapan saja, saat jadi seorang ibu, kita belajar untuk bersikap sabar, saat jadi seorang istri kita belajar bagaimana serve orang lain dengan baik, saat jadi seorang karyawan kita belajar bagaimana berinteraksi dan menghargai perbedaan orang lain. So, please stop being skeptic of who you are. 
Whoever you are, woman is still a woman. Semua pilihan dalam hidup selalu ada plus dan minus, sekarang yang perlu kita lakukan bukan fokus pada problemnya (takut keteteran jadi ibu dan istri kalau kerja, takut ga bisa bergaul dan kreatif kalau di rumah aja), tapi fokus pada solusinya, toh, Yes, once again, i;m not married yet. Makanya, mulai dari sekarang (re: jaman kuliah sih), aku sudah mulai senang membaca buku dan nonton video parenting, tujuannya supaya ga bingung-bingung banget kalau tiba-tiba harus ngurus anak atau bahkan dilamar orang (#loh) Everything should be balanced, shouldn't be? 
That is why we need people who always remind us, berada di lingkungan orang-orang positif, ga menutup diri, keep reading books and updating up-to-date news), mingling easily with new people. 
Apapun profesi seorang perempuan, there's no big matter with that, just keep being inspiring and creative woman! 
Kita ga pernah tau di titik mana kita menginspirasi orang lain :D

Well, actually, I really wanna share many things, how we adapt as arrived abroad. Sebenernya, i've been making several videos to publish on youtube tentang persiapan sekolah keluar negeri, termasuk, proses adaptasi yang harus dilewati, tapi berhubung sang video maker masih gaptek dan belajar tentang video editing, jadi agak sedikit molor ya hehehe.
 Studying abroad sangat menyenangkan, tapi di sisi lain juga jadi challenge tersendiri untuk kita yang serba berbeda, budaya, adat istiadat, dan gaya hidup. I don't mean to make you guys afraid, studying abroad akan jadi sesuatu yang menakutkan kalau kita gak siap, baik fisik maupun mental (mental sih yang paling sulit). At the moment, I've just realized how tough it is to living abroad, alone, by yourself, seriuosly. But, once you successfully pass through that, you'll be having a better life changing. 
Ma, Pa, doain Dea ya disini diberikan segala kemudahan dan kelancaran hingga bisa menyelesaikan studi sampai 2 tahun kedepan, Sehat-sehat terus ya Ma, Pa.
I really really miss you so much. I love you to the moon and back.

Comments

  1. Mb dea, aku nangis bacanya :')
    Paling menohok sih, yang bagian "takut lupa kodrat" dan "fokus sama solusi, bukan problem."
    Thanks mb!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Campus Life be Like

Time flies so fast. Really. Ternyata sudah hampir dua bulan aku melewati salah satu fase baru di hidup (ciyeeee as if newly couple ), maksudnya my master study life in Wageningen, desa sepi nan indah di Belanda ( trust me,  gak bakal ada turis dari Indonesia yang intenationally  kesini kalau bukan punya temen, saudara, atau kerabat yang tinggal di desa ini).  Well, sebelum semakin larut dan makin banyak jurnal yang dianggurin (gatel pengen nulis sekarang, anaknya ga sabaran, mumpung jam 12 malem jadi ga merasa berdosa). I'll make this story started now. Aku mungkin harus cerita lebih dulu tentang kota ini, eh maksudnya desa ini, dan segala isinya, supaya yang baca bisa sedikit membayangkan.  1. Apa dan Dimana Wageningen, Wageningen University and Research itu? Wageningen hanyalah kota kecil yang terletak di provinsi Gelderland, Belanda. Jumlah populasinya hanya sekitar 39.000 penduduk saja (populasi Garut masih 5x lebih banyak dari ini,  https://en.wikipedia.org/wiki/Garu

Satu lagi Mimpi..

Rabu, 9 September 2015  jadi salah satu hari bersejarah untuk beberapa mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), tapi tidak untuk saya. Ya, hari kelulusan pun tiba. Setelah empat tahun menjadi mahasiswa, melewati fase yang menurut orang-orang adalah gerbang penentu kesuksesan di masa depan, akhirnya semua berakhir, tapi lagi-lagi tidak untuk saya. Sejak pertama kali memasuki bangku kuliah, wisuda bukan jadi sesuatu yang penting bagi saya, hanya sebatas ceremonial. Tapi, hari itu saya sadar mengapa orang-orang begitu menunggu momen ini. Wisuda, mungkin bukan apa-apa, tapi jadi hadiah spesial untuk keluarga dan sahabat terdekat. Euphoria nya terasa lebih mendalam ketika dihadiri dan disaksikan oleh mereka, yang rela menyempatkan waktu untuk melihat kita sesekali berbusana rapi, mengenakan toga, dan bahkan memberikan buket bunga dan boneka sebagai kenang-kenangan. Disaat semua orang menikmati kebahagiaan itu, ada rasa takut yang semakin besar menghantui pikiran saya. Rasa takut tida

Tidak Terlihat tapi Terasa...

Dewasa ini, banyak orang di usia akhir masa remaja hingga pertengahan 30 tahunan mengalami gangguan panik. Awalnya dianggap sepele, namun ternyata bisa berdampak negatif untuk pengembangan diri dan interaksi dengan orang disekitarnya, Ternyata, peremuan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan gangguan panik ini. Gangguan panik ini tidak hanya sekedar gangguan yang sifatnya temporer, tapi bisa jadi permanen apabila tidak disembuhkan. Gangguan panik ini dalam medical terms dikenal sebagai Anxiety Disorder.  \ Salah satu blog yang saya baca, menyebutkan bahwa salah satu gejala terbesar dari penyakit psikis ini adalah rasa takut yang persisten akan adanya serangan berikutnya, atau rasa cemas (misalnya, takut kehilangan akal atau menjadi gila, terkena serangan jantung, bahkan takut mati). Salah satu dampak buruk lainnya adalah, penderita takut berada di keramaian dan lebih cenderung memilih di rumah, sebisa mungkin menghindari mobilitas di luar rumah karena takut