Skip to main content

Semenjak di Belanda



Semenjak tinggal di Belanda, Jumat jadi the most-awaited day buat gue. Setelah melewati berbagai deadline, kuliah pagi-malam, groupwork, jurnal, dan urusan akademik lainnya, gue bisa sedikit bernafas lega di Jumat malam, meskipun somehow Sabtu nya juga ga bisa nyantai. At least, di Jumat malam (kok horror ya), gue bisa curi-curi nonton drama korea 2 episodes (5 sih tapi ga tidur sampe pagi) atau sekedar nontonin konser-konser penyanyi favorit gue di youtube yang in fact udah gue tonton lebih dari 10x. Emang gue anaknya suka mengulang-ngulang sesuatu ya, apalagi nonton konser music di youtube, ga kesampean nonton konser nya live, karena penyanyi yang gue tonton rata-rata udah tutup usia (selera tua). Sebulan lalu, gue sampe rela hujan deras ke centrum (pusat kota) di Wageningen buat beli speaker abal-abal, supaya bisa denger lagu dan nonton korea dengan volume kenceng. It seems pretty working well! Okay, back to the line.

Ternyata kalau dihitung-hitung, sebentar lagi gue officially, berhasil dinyatakan lulus dari proses adaptasi lingkungan baru selama 1 tahun. Ya, bentar lagi, 10 Januari 2018, which is tandanya gue udah satu tahun berada di salah satu kota kecil di Belanda, yang katanya dikenal sebagai the most sustainable and living city in the world, Wageningen. Gue patut berbangga karena sudah berhasil melewati 4 pergantian musim and even sudah memasuki winter ke-2 gue di Belanda. Experiencing snowfall might be already my fifth times in my whole life. Pertama kalinya gue menikmati salju di tahun 2014, di Montreux, Switzerland. Agendanya waktu itu, jelas bukan jalan-jalan. Dari 5x pengalaman snowfall yang gue lewati, none of them was for holiday trip. Even, melihat dan merasakan salju untuk kesekian kalinya dan ke-5 kali nya di penghunjung tahun 2017, snow still makes me amazed, indeed. Gue tetap takjub dan pertanyaan yangs elalu muncul di otak gue, ‘’Kok gue bisa sampe sini ya?’’  Gue masih ga percaya, kalo gue sudah satu tahun memulai dan merajut kehidupan baru di Belanda.
Gue ga tau arah tulisan ini mau dibawa kemana sih (tapi gue tau arah hubungan kita mau dibawa kemana). Suasana sekarang yang bikin gue menguatkan tekad untuk nulis ini, karena biasanya gue cukup, nee, bahkan terlalu mager untuk bikin tulisan di blog. Suasana winter masih di Belanda (belum pindah negara), crowd nya kota Utrecht, salah satu kota favort gue untuk belana karena lengkap dari A sampai Z, dan Starbucks nya yang bikin pewe. Ya, gue lagi duduk di pojokan meja kecil si Starbucks Utrecht (Wageningen does not have any junk foods and cafes), udah satu jam kurang lebih gue disini, belajar karena Senin gue exam. Tapi, tiba-tiba gue pengen banget nulis apa yang sudah terjadi selama satu tahun belakangan selama gue hidup di Belanda. Niat belajar kalah sama niat nulis di waktu yang salah. Ah sudahlah, gak apa-apa, sesekali ini.

Balik lagi ke topik (penulis amatir, ga punya direction, mohon maaf). Ya, kenapa gue suka Jumat? Karena esok harinya adalah Sabtu. Sesederhana itu gue mendefinisikan kebahagiaan. Setiap Sabtu, gue punya kebiasaan untuk jalan-jalan sendiri, entah masih di sekitar Wageningem atau muter-muter keluar kota di Belanda, dan kota yang palings ering gue kunjungi adalah Arnhem dan Utrecht. Alasannya? Banyak tempat makan dan shopping centres nya yang besar, meskipun gue juga ga belanja…….. (banyak). Ternyata gue sudah melewati 7 periode masa akademik di kampus dan 8 courses wajib yang harus gue penuhi supaya bisa lulus dari sini. Seperti yang pernah gue share di tulisan sebelumnya, sistem kuliah yang beda di Wageningen dan Belanda membuat mahasiswanya, termasuk gue agak kesulitan untuk dapet nilai (pelit nilai), khususnya untuk mahasiswa internasional yang belum lagi harus beradaptasi denga distinction yang luar biasa. Problem intercultural komunikasi dengan dosen, bahkan sesama mahasiswa selama groupworks, yang kadang lebih bikin frustasi dibanding mata kuliahnnya sendiri. Hampir setiap course di Wageningen ini selalu ada groupwork, paper, dan presentasi. So, kalo kalian termasuk orang introvert, yang ga suka ketemu atau ngobrol sama orang-orang, tapi mau keluar dai zona nyaman, menurut gue ini ngebantu banget untuk kalian bisa mulai terbuka dan bikin networking seluas-luasnya.

Selama satu tahun perjalanan studi gue disini, ada satu hal menarik yang menurut gue, the biggest change in my life. Sejak kapan, gue, Deanty, senang menekuni bidang riset atau penelitian, nulis scientific paper, betah di perpustakaan selama satu hari sampe males makan karena takut kursi pewe gue diambil kalo ditinggal? Gue sendiri ga bisa menjawab.
Gue sadar betul, dari SD, SMP, SMA, bahkan selama S1, gue lebih memilih pidato, orasi, atau debat di depan banyak orang, ketimbang gue harus duduk diem di lab, perpus, atau kerja duduk mantengin laptop seharian dan berulang setiap hari. Definisi gue masih sempit saat itu, researcher atau peneliti adalah mereka yang menggunakan jas putih dan kerja 7x24 jam di laboratorium. Gimana mereka bisa bertahan tanpa ngobrol atau komunikasi dengan orang banyak.  Sesempit itu pikiran gue. Malu.
Gue bukan tipikal orang yang paham metodologi riset itu seperti apa, bahkan hal-hal sederhana kayak nentuin sample size gimana, bikin research questions yang menurut gue gampang. Ternyata, gak sesederhana itu. Gue pengen cari tau A, lalu gue tulis A. Ada B, C, D, E, F, dan seterusnya yang mesti gue jawab dan cari tau untuk bisa bikin research questions yang valid dan reliable. Jadi inget skripsi gue waktu S1, bikin questionnaire, dalam hitungan jam sudah beres, tanpa mikir karena udah punya referensi questionnaire yang sama, alias tinggal ubah studi kasusnya. Tapi, semua berbeda setelah negara api menyerang (thesis).
Setelah 2 bulan lalu, gue membuat rencana yang cukup nekat utnuk memulai menulis thesis proposal 3 bulan lebih awal dari waktu normal angkatan gue, di tengah-tengah masih punya tanggung jawab menyelesaikan courses yang kuliahnya dari gelap ketemu gelap lagi, gue merasakan sekali mindset gue tentang research berubah. Masih jadi sesuatu yang menakutkan buat gue, tapi justru (sedikit) menikmati dan menganggap ini jadi challenge buat gue. Sebagai orang yang ga pernah berpikir untuk jadi peneliti dana tau dosen, bahkan untuk lanjutin Pendidikan PhD, I feel amazed with myself.

Kekurangan gue masih sangat banyak dalam hal menulis. Belum selesai A, udah mau bahas Z. And it happens….. udah masuk revisi ke-4 proposal thesis gue, bagian introduction masih harus gue revisi kata sang supervisor. He said, ‘’Pour everything that comes to your mind in structured writing precisely like what you have told me just now’’. Intinya, doi bilang, kenapa gue ga bisa menulis dengan struktur yang rapi, sama seperti yang gue jelasin ke dia barusan. My biggest shortcoming! Gue sendiri juga geregetan, maksud gue A, B terus C. Tapi, entah mengapa saat gue baca tulisan gue sendiri, rasanya gue ngajak pembaca naik main ular tangga, udah naik, turun lagi, naik lagi, dan seterusnya.
Ini mungkin yang dinamakan efek debating yang ga diimbangi dengan mengembangkan kemampuan menulis. Gue ikut kompetisi debat dari SMP dan gak berhenti sampai S1. Kemampuan oral gue emang gue akui jauh lebih baik daripada menulis, bak langit dan bumi. Apalagi selama debat, kita selalu dibiasakan dengan impromptu topics, topik yang literally, gue ga tau sama sekali, contohnya laws, health issues. Dan kita dikasih waktu 30 menit untuk brainstorming, 7 menit untuk berargumen. Dan bekal debat itu bermanfaat banget buat gue bahkan sampai saat ini, gue akui. Terutama saat masih di S1, saat akan ada presentasi kelompok. Seringkali, gue ga sempet belajar H-1 atau sekedar baca ulang paper yang kelompok gue buat atau part dari paper yang temen gue buat. Dalam hitungan 10 menit sebelum presentasi, gue kebut baca dan jreng…jreng…. I did that! Berbekal suara lantang, intonasi santai, ditambah bumbu-bumbu ekspresi wajah dan gerak tangan yang convincing, orang-orang (mungkin) ga tau kalo sebenernya gue juga ga begitu yakin dengan apa yang gue sampaikan (yaiyalah baca 10 menit sebelumnya). Kocaknya, beberapa kali, ada tanya jawab, dengan karakter keras kepala gue, gue tetap yakin dan meyakinkan bahwa jawaban gue dan kelompok gue benar.
But I can’t help it anymore. Satu tahun tinggal di Wageningen, lingkungan ornag-orang akademik, teman-teman internasional yang curiosity nya sangat tinggi dan semangat belajar yang ga pernah luntur, itu semua ternyata bikin gue terinfluence secara positif. Dulu, baca jurnal 1 judul aja rasanya butuh 1 minggu dan terasa berat. Surprisingly, gue jadi menyenangi itu and don’t take it as a burden.

Hal yang mungkin, eh pasti deh, gue rindukan saat nanti kembali ke Indonesia adalah, atmosfer belajar dan senang membaca dimanapun dan kapanpun yang mungkin akan sulit gue temukan selama di Indonesia. Contohnya, setiap study week, 1 minggu sebelum ujian, perpustakaan dibuka sampai pukul 24.00, bahkan 5 menit sebelum kampus dibuka, banyak mahasiswa yang sudah menunggu di depan gerbanng kampus, karena rebutan kursi. Setiap sudut kampus penuh, kantin, koridor, bahkan cuma sekedar kursi kecil di dekat lift. Semua orang membaca, belajar, dan berdiskusi.

Gue semakin percaya, lingkungan berperan pentng membentuk siapa dan bagaimana kita berperilaku dan berpikir. Gue memang belum memutuskan dengan bulat keinginan gue untuk melanjutkan pendidikan PhD dan bahkan jadi seorang peneliti. Ada satu hal yang bikin gue sedikit terpengaruh and start loving being a researcher. Allah emang selalu punya cara untuk menunjukkan rencana indahnya buat kita, meski awalnya terlihat buruk dan ga sesuai dengan keinginan kita. Sama seperti yang terjadi di period ini, gue dipaksa untuk ambil course yang ‘sejak belum jadi mahasiswa WUR’ sangat gue hindari, Research Methodology, oleh acadmic advisor alias dosen pembimbing, ‘’I don’t like doing research’’. Sampai suatu hari, dosen course ini membuka mata dna pikiran gue bahwa menjadi peneliti ga sesempit itu. ‘’If you want to be a policy-maker, you should know how to do a research’’. Sebagai orang yang being so crazy in love with policy terms, gue yang tadinya ngantuk langsung melek dan merasa tertampar. Banyak policy instruments di negara-negara berkembang yang akhirnya jadi missed dan incoherent di level implementasi karena policy-makers ga berbekal kerangka berpikir yang logis dan reliable. Banyak kebijakan yang cuma jadi kebijakan, malah beberapa diantaranya justru jadi barrier untuk pengembangan sector terentu. Salah satunya, kalau boleh berpendapat, negara kita, yang determinasi kebijakannya (selalu) bersandar pada prinsip politik konstituen, alias bagaimana membuat raykat kecil senang dan kenyang. Politik anggaran, bisa dibilang separuh dari diskusi di level legislatif, adalah lagi-lagi sector apa yang mendapat alokasi proporsi anggaran tahunan lebih besar disbanding yang lain? Berapa persen subsidi listrik yang harusnya diterima oleh rakyat kecil?

Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan tersebut jadi ga tepat sasaran. Asal rakyat senang, pemerintah ga kerepotan. Good free modal, to what extent dampak actual dari penerapan suatu kebijakan. Andai saja para policy-makers kalau sudah siap dengan policy-analytical framework yang runut, jadi mengidentifikasi masalah secara experimental, melihat apa sih faktor penyebabnya. 
Bayangkan kalau policy-makers, ga cuma sekedar cuap-cuap di forum, tapi punya kerangka berpikir yang rapi, tau mana yang fundamental based policy, causal effects di masyarakat. Mereka bisa lebih tepat menentukan policy instruments seperti apa yang bisa menjawab akar masalah di masyarakat, kebijakan yang kohesif. Bukan yang cuma ‘terlihat’ saja, harga BBM turun, subsidi listrik makin besar, lalu masyarakat bersorak sorai. Diskusi kelas pagi itu berhasil bikin gue galau darurat, apa yang ingin gue lakukan setelah ini.
Keinginan gue selama ini, bercita-cita jadi policy-makers, bagian dari pemerintah, ternyata butuh modal dan bekal yang banyak. Ga Cuma sekedar jago debat. Tapi juga scientific thinking.

Kedengerannya gue seperti mengeluh sekaligus sok tahu ya. Ini cuma secercah pandangan gue aja, so don’t judge me. Gue masih belajar, terutama terkait public policy, yang jadi interest gue sejak SMP, tapi baru kesampean belajar itu di S2, bahkan cuma di periode terakhir studi S2 gue yang waktunya Cuma 3 minggu, dan bukan compulsory subject pula karena diambil berdasarkan rasa penasaran gue belajar tentang kebijakan publik. Mana tau jadi legislatif beneran. Intinya, opini tadi cuma secuil dan ga ada apa-apanya dibanding tulisan hebat orang-orang diluar sana, temen-temen gue yang pada jago nulis, bahkan udah pada punya buku.

(Dan gue baru sadar betapa tidak valid opini gue, no burden of proof, ga punya reference kayak di blog orang (karena males), sekali POI langsung KO)

Setelah sekian lama ga ngisi blog ini lagi, gue sadar betul betapa gue less attempt banget tapi banyak maunya. Pengen jago nulis, tapi malas sekali melatihnya. Ada beberapa pertimbangan yang sebenernya membuat gue tertahan untuk menulis sesuatu di blog, yang paling gue consider adalah, ketidakpercayaan diri gue untuk menuangkan opini gue dalam kata demi kata. Lagi-lagi gue bisa bilang, gue rela, ikhlas, ridho, disuruh pidato atau orasi berjam-berjam di depan banyak orang. Confidence gue ga sebesar itu, gue merasa tulisan gue weird tiap kali gue baca ulang dari awal sebelum gue memberanikan diri untuk sharing tulisan ini.
But, life is only once, so on with them pants. Hell ain’t for sure, it’s only a chance.
Siapa tau beberapa tahun lagi saat gue pengen tracking sudah sejauh apa gue melangkah dan recall tulisan gue di waktu lampu, ini bisa jadi reminder buat gue kalau segala sesuatu butuh proses. Termasuk menulis.

Menutup tahun 2017 ini, banyak hal-hal yang terjadi di luar prediksi dan rencana gue. Hal-hal yang ga pernah terlintas di pikiran gue, yang gue hindari, yang gue benci, salah satunya berkutat dengan dunia riset tampaknya akan jadi sesuatu yang menantang di tahun 2018. Ditambah lagi dengan banyaknya peluang beasiswa untuk mahasiswa Indonesia, semakin banyak mahasiswa Indonesia lulusan luar negeri nantinya. Gue merasa harus mencari comparative advantage yang bisa gue jual seketika gue pulang nanti, salah satunya adalah melalui Bahasa. Meskipun Bahasa Dutch gue masih dibilang passive, gue masih belum bisa menjawab dengan lancer dan bahkan kadang missed di tengah-tengah percakapan Dutch, tapi gue masih akan berjuang sampe gue lulus untuk bisa menguasai Bahasa ini. Dan keadaan yang membuat gue harus juga terpacu untuk mulai belajar Bahasa Jepang, tapi gue sangat menikmati. Menurut gue, ga ada ruginya belajar Bahasa asing, apapun itu. Jadi gue merasa happy aja, meskipun susah ya belajar 2 bahasa di waktu yang sama wkwk. Balik lagi ke prinsip pertama gue, untuk jadi sesuatu yang beda, lakuin hal yang berbeda. Termasuk, urusan thesis, dan belagu belajar 2 bahasa di waktu yang bersamaan tapi nempel ke otaknya lama. Gue ngebayangin akan seindah apa kalo bisa jago debat, punya skill scientific writing yang baik, menguasai banyak bahasa asing! Tapi gue tau, ga semudah itu.............

Gue berterima kasih karena 2017 jadi tahun yang penuh diluar ekspektasi gue dan banyak hal yang terjadi sepanjang tahun ini yang jadi faktor gue mengubah rencana-rencana besar yang mungkin sejak SMP udah gue cita-citakan, namun akhirnya semua berubah, ke rencana yang InshaAllah akan berbuah baik, kalo gue terus berusaha, bekerja, belajar, dan ga lupa berdoa sama Allah.

2017 akan jadi tahun yang ga akan pernah gue lupain, memulai hidup baru di Belanda, mengubah mindset gue memaknai hidup dan setiap perjalanan yang gue lalui, orang-orang yang gue temui, pergi dan datang, ilmu dan pengetahuan yang rasanya ga akan cukup untuk gue ungkapkan disini satu per satu, dan tentunya, Wageningen, Belanda, negara yang udah gue anggep kayak rumah kedua gue setelah Indonesia. Yang awalnya benci dan ga betah, tapi lama-lama, jatuh cinta dan terbayang sudah akan sesedih apa saat gue sudah selesai menuntaskan segala amanah di Belanda dan harus kembali ke Indonesia.

So, I am ready to write all my new stories up in 2018, InshaAllah.

Comments

Popular posts from this blog

Campus Life be Like

Time flies so fast. Really. Ternyata sudah hampir dua bulan aku melewati salah satu fase baru di hidup (ciyeeee as if newly couple ), maksudnya my master study life in Wageningen, desa sepi nan indah di Belanda ( trust me,  gak bakal ada turis dari Indonesia yang intenationally  kesini kalau bukan punya temen, saudara, atau kerabat yang tinggal di desa ini).  Well, sebelum semakin larut dan makin banyak jurnal yang dianggurin (gatel pengen nulis sekarang, anaknya ga sabaran, mumpung jam 12 malem jadi ga merasa berdosa). I'll make this story started now. Aku mungkin harus cerita lebih dulu tentang kota ini, eh maksudnya desa ini, dan segala isinya, supaya yang baca bisa sedikit membayangkan.  1. Apa dan Dimana Wageningen, Wageningen University and Research itu? Wageningen hanyalah kota kecil yang terletak di provinsi Gelderland, Belanda. Jumlah populasinya hanya sekitar 39.000 penduduk saja (populasi Garut masih 5x lebih banyak dari ini,  https://en.wikipedia.org/wiki/Garu

Satu lagi Mimpi..

Rabu, 9 September 2015  jadi salah satu hari bersejarah untuk beberapa mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), tapi tidak untuk saya. Ya, hari kelulusan pun tiba. Setelah empat tahun menjadi mahasiswa, melewati fase yang menurut orang-orang adalah gerbang penentu kesuksesan di masa depan, akhirnya semua berakhir, tapi lagi-lagi tidak untuk saya. Sejak pertama kali memasuki bangku kuliah, wisuda bukan jadi sesuatu yang penting bagi saya, hanya sebatas ceremonial. Tapi, hari itu saya sadar mengapa orang-orang begitu menunggu momen ini. Wisuda, mungkin bukan apa-apa, tapi jadi hadiah spesial untuk keluarga dan sahabat terdekat. Euphoria nya terasa lebih mendalam ketika dihadiri dan disaksikan oleh mereka, yang rela menyempatkan waktu untuk melihat kita sesekali berbusana rapi, mengenakan toga, dan bahkan memberikan buket bunga dan boneka sebagai kenang-kenangan. Disaat semua orang menikmati kebahagiaan itu, ada rasa takut yang semakin besar menghantui pikiran saya. Rasa takut tida

Tidak Terlihat tapi Terasa...

Dewasa ini, banyak orang di usia akhir masa remaja hingga pertengahan 30 tahunan mengalami gangguan panik. Awalnya dianggap sepele, namun ternyata bisa berdampak negatif untuk pengembangan diri dan interaksi dengan orang disekitarnya, Ternyata, peremuan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan gangguan panik ini. Gangguan panik ini tidak hanya sekedar gangguan yang sifatnya temporer, tapi bisa jadi permanen apabila tidak disembuhkan. Gangguan panik ini dalam medical terms dikenal sebagai Anxiety Disorder.  \ Salah satu blog yang saya baca, menyebutkan bahwa salah satu gejala terbesar dari penyakit psikis ini adalah rasa takut yang persisten akan adanya serangan berikutnya, atau rasa cemas (misalnya, takut kehilangan akal atau menjadi gila, terkena serangan jantung, bahkan takut mati). Salah satu dampak buruk lainnya adalah, penderita takut berada di keramaian dan lebih cenderung memilih di rumah, sebisa mungkin menghindari mobilitas di luar rumah karena takut