Skip to main content

How does it feel to work in the Netherlands?


Akhir Desember lalu semua orang tampak nya sibuk merencanakan winter break mereka bersama keluarga, teman, dan orang terkasih. Sebaliknya, pergantian tahun ini gue lewatkan dengan nonton serial drama Korea dan mengintip indahnya kembang api beberapa kali gratis dari ceiling window kamar gue yang posisinya di rooftop. Tahun ini juga gue ga membuat resolusi apapun di 2019, kecuali bersyukur atas segala berkah yang gue rasakan di 2018 dan mengucap bismillah, berdoa untuk segala kemuda
han dan kelancaran rencana di 2019.
Office desk situation

2018, sungguh, sungguh tahun yang penuh kejutan, ups and downs, senyum, tawa, tangis, dan haru. Gue merasa gue ga bisa mendeskripsikan tahun 2018 dengan baik lewat tulisan di blog ini, terlalu banyak cerita dan pengalaman, yang mungkin cukup gue sendiri memaknainya dan menjadi evaluasi untuk masa depan. Tahun 2018 kali ini ini gue nobatkan sebagai tahun ketiga yang paling berkesan sepanjang perjalanan gue setelah 2016 dan 2017.

Tahun 2018, Alhamdulillah gue dapat menyelesaikan thesis tepat waktu di Bulan Juli silam. Perayaan kelulusan atau wisuda di kampus gue memang tidak se-fancy kampus lain. Jangan membayangkan graduation ceremony gue seperti film-film Hollywood, lempar toga, nyanyi bareng, dll. Sebagai kampus ter-sustainable katanya, kampus gue cenderung ga suka dengan tipikal ceremony semacam ini. Sebenarnya, ga kampus gue aja sih, mostly di Belanda, graduation ceremony ya beneran upacara formil biasa yang singkat dengan pemberian sertifikat kepada mahasiswa. Gue pernah nonton graduation ceremony kampus gue yang menurut gue justru jadi lebih mengharukan dan intimate, instead of throwing a fancy party yang kadang kurang cocok dengan esensi kelulusan itu sendiri.
Meskipun gue belum bisa menghadiri graduation ceremony bulan Maret 2019 nanti, Alhamdulillah bulan Juli 2018 kemarin orang tua gue berkesempatan menemani gue seharian menjalani sidang thesis dan bertemu dengan supervisor, berkeliling kota Wageningen, melihat-lihat setiap sudut kota tempat gue selama ini menuntut ilmu dan mengajak mereka berjalan-jalan ke beberapa kota cantik di Jerman.

Alhamdulillah tidak lama setelah menyelesaikan thesis, gue mendapatkan kesempatan untuk mencicipi pengalaman bekerja di Belanda, tepatnya di Rotterdam yang mengharuskan gue untuk pindah tempat tinggal. Rotterdam, salah satu kota terpadat di Belanda selain Amsterdam dan biaya hidup yang jauh lebih mahal, membuat gue memutuskan untuk mencari tempat tinggal di kota yang jaraknya tidak begitu jauh dari Rotterdam. Alhamdulillah ga begitu sulit mendapatkan tempat tinggal di Schiedam, salah satu kota kecil tapi padatnya minta ampun, yang letaknya di antara Den Haag dan Rotterdam.
Web introduction 
IHS atau Institute for Urban Housing and Sustainable Development adalah salah satu research and academic institute di bawah Erasmus Rotterdam University, simply said ini semacam salah satu fakultasnya. Uniknya, mereka ga hanya fokus di akademik (lecture) aja, tapi juga research and advisory institute untuk private maupun government. Salah satu yang bikin gue tertarik juga untuk apply posisi ini saat itu adalah karena menurut gue dunia research & consulting yang dynamic punya sisi kenyamanan sendiri buat gue dan mungkin tidak semua orang ketahui.
Banyak yang tanya beberapa kali posisi gue di kantor ini sebagai apa. Senior Researcher? Docent? Tenang guys, gue belum secerdas itu untuk jadi dosen (lol), I mean, tidak semudah itu karena lo harus menghabiskan 4-5 tahun lagi terlebih dulu untuk posisi PhD di Belanda sebelum lo punya kualifikasi menjadi dosen disini. Posisi gue adalah sebagai seorang intern yang ditugaskan bekerja di Department of Urban Environment, Sustainability, and Climate Change, salah satu spesialisasi di IHS.

Internship adalah mandatory part dari syarat kelulusan master study di Wageningen University. Yes, jadi gue belum officially lulus, guys. Tidak semudah itu :’)
Banyak juga diantara teman-teman gue yang memilih internship di Indonesia, karena chance yang lebih besar atau juga ada yang ingin lebih dekat dengan keluarga. Gue sendiri mengakui betul mencari posisi intern di perusahaan atau organisasi di Belanda dan negara lain di Eropa level nya sama dengan mencari posisi full-time worker di Indonesia. Syaratnya susah, screening dan seleksi nya juga memakan proses dan waktu yang panjang dan lama. Ada screening CV, Cover Letter, dan kalau apply di research/academic institute, portofolio research juga akan jadi salah satu requirement. Kenapa bisa begitu? Karena posisi intern disini diperlakukan sama dengan full-time worker, ada salary, bahkan beberapa perusahaan juga memberikan bonus akhir tahun. Jadi, ya ga ada perbedaan, selain kontrak kerja yang sudah ditentukan dan nominal gaji yang kalau di convert ke rupiah setara gaji full-time worker yang sudah punya pengalaman bekerja 3 tahun.

Ditambah lagi suasana kantor dan rekan-rekan yang sangat positif. Gue tidak merasakan sama sekali perasaan insecure atau worry karena takut “dikerjain” atau disuruh kerja lembur atau di “put aside” karena dianggap hanya anak magang. Treatment mereka sama dan ga ada diskriminasi. Selama sebulan pertama kerja, gue selalu ada rapat evaluasi bareng supervisor dan kolega. Disana, gue selalu di encouraged untuk menyampaikan unek-unek dan bahkan gue boleh complain kalau gue dikasih kerjaan yang ga sesuai dengan tupoksi atau jobdesc gue diawal, atau kalau gue merasa workload yang ga manageable. To conclude, lingkungan kerja yang gue rasakan 4 bulan ini sangat mendukung personal development gue, baik dari segi knowledge, work ethic, professionalism, dan kehidupan social gue.

Kerjanya ngapain, De?
Well, again, karena syarat internship kampus gue adalah “Research internship-based” tentu pekerjaan gue ga jauh-jauh dari dunia riset, tentunya di bidang lingkungan. IHS adalah salah satu the most leading research institute di Belanda di bidang urban development, gue sendiri baru aware kalau mereka juga punya spesialisasi di bidang climate change yang in line dengan research focus gue.

Project utama gue ada 2 (dua), CLIMACT Prio Tool dan Energy Urban Mitigation & Adaptation research. Singkatnya CLIMACT Prio ini adalah tool yang dirancang untuk membantu menyusun skala prioritas pemerintah dalam agenda strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Gue turut mengembangkan tool ini selama 4 bulan terakhir. Tool ini sebenernya sudah ada sejak 3 tahun lalu, tapi kemudian perlu dikembangkan dengan dinamika indikator perubahan iklim dan factor-faktor yang mempengaruhi di urban areas.
Nih buat yang penasaran sama tool nya (https://youtu.be/rBvt75KsaG8).

Tool ini sendiri digunakan multi-purposes, yakni sebagai bahan belajar di workshop para mahasiswa di IHS yang mengambil Master of Urban Environment and Climate Change dan juga sudah diaplikasikan oleh beberapa pemerintah kota atau municipality di Belanda dan negara Eropa lain, salah satunya Rotterdam. Tool ini salah satu alasan kenapa gue tertarik banget untuk apply posisi ini di IHS, since fokus gue memang ada di Energy and Climate Change Policy and Governance. Selain pengembangan tool ini, gue juga terlibat pada riset mini atau pengaplikasiannya yang membawa gue pada beberapa fakta bahwa hampir semua pemerintah kota di negara-negara Eropa sudah memililki daftar prioritas aksi mitigasi dan adaptasi yang di selalu di update setiap beberapa period, which is Indonesia belum punya selain RAN-GRK dan RAN-API yang belum di update lagi sejak 2011 :) :) :)

Kedua, Energy Urban Mitigation & Adaptation research project yang menurut gue kurang lebih seperti mengerjakan thesis untuk kedua kalinya (KETAWA).Ini sebagai research product yang nanti di akhir period harus gue sampaikan dan presentasikan hasil atau findings yang gue temukan dari mini research ini. Alhamdulillah, pengalaman nesis yang begitu tough di WUR selama kurang lebih 8 bulan membuat mental gue lebih siap dan skill scientific writing yang lebih baik dari sebelumnya. Gue ga akan menjelaskan detail research ini karena sesungguhnya gue masih deg-degan menyiapkan final presentasi ini 2 (dua) minggu lagi. Doakan ya!

Hal menarik lain dari selama 4 bulan bekerja disini adalah, selalin treatment yang sama, gue dapat bonus akhir tahun, gue dapat jatah day off ­2 hari setiap bulan, gue dapat parcel christmast, gue dapat PC dan seat yang proper, gue selalu didengar pendapatnya saat rapat, gue dikasih kesempatan yang sama untuk beropini dan berbeda pendapat, which is gue ga merasakan itu selama bekerja di Indonesia dulu, atau mungkin gue nya yang kurang explore dan berani (?)

Selama bekerja, gue ga pernah disuruh lembur. Total jam kerja per hari yakni 8 jam. Kalau gue masuk pukul 8, gue boleh pulang pukul 16.00, kalau gue masuk pukul 9, gue boleh pulang pukul 17.00 dan seterusnya. Disini ga ada sistem absensi scan sidik jari jempol atau apapun itu, in case lo ga bisa masuk kantor, lo wajib email sekretariat (yang bertanggung jawab terhadap absensi) bahwa lo tidak bisa hadir dengan alasan tertentu dan sejauh ini gue melihat 2 teman eruangan gue selalu jujur menotifikasi absensi mereka saat mereka ga bisa masuk karena sakit, atau bahkan mengabarkan akan datang telat ke kantor. Kebayang ya adem nya kayak apa :’) Literally, ngajarin kejujuran dan tanggung jawab harus datang dari kesadaran diri sendiri dan flexibility bahwa bekerja tidak harus selalu di “kantor”. Working can be everywhere xD

Hal yang paling gue respect adalah setiap kali supervisor gue meminta gue mengerjakan sesuatu di luar tupoksi gue di awal seperti hal administrative (menyusun handbook mata kuliah untuk semester baru), doi selalu email gue atau nelfon untuk minta izin dan minta pertimbangan gue apakah gue sanggup atau tidak dengan workload yang bertambah. Ini sesuatu yang paling gue sukai dan akan rindukan tentang Belanda, prinsip Egalitarian xD, yang kayaknya ga pernah gue rasakan di Indonesia :p

Well, sebelum melanjutkan studi master, gue sempat merasakan dunia kerja di Indonesia kurang lebih 2 tahun, ngerasain gimana rasanya lembur ga dibayar, naik kereta subuh jam 4 setiap hari kayak dipenyet setiap hari, kerja hari Sabtu, ditelfon di luar jam kerja, gue merasakan menjadi seorang fresh graduate ditolak sana-sini karena jurusan gue yang namanya unik dan tidak pernah ada di syarat jurusan pencarian kerja :p, diterima dengan gaji kecil tapi demand banyak sampai akhirnya bisa settlef dan nabung untuk bayar sendiri segala persiapan kuliah di luar negeri :’) Gue pernah merasakan disuruh mengerjakan sesuatu yang bukan tupoksi gue, bukan bidang gue, bahkan bukan sesuatu yang gue senangi. Tapi, gue bersyukur dengan pengalaman-pengalaman itu di masa lalu, CV gue kosong, cover letter gue ga promising, interview gue gugup, dan akhirnya gue mungkin ga akan bisa mencicipi rasanya mendapatkan pengalaman bekerja professional di salah satu research institute ternama di Belanda, IHS :’)

Overall, bekerja di Belanda ga semenakutkan itu kok kalau kita mau berusaha dan belajar, dan tentunya gak malu bertanya dan terlihat bodoh saat kita beneran ga tau atau ga paham, instead of sok pinter tapi sebenernya tidak tau tapi tidak mau bertanya karena malu. Layaknya gue yang awal masuk IHS, gue ga begitu memahami urban resilience, urban development dan kawan-kawannya, dan sejak awal gue selalu emphasize ke supervisor gue the expected personal goals gue selama bekerja disini saat keluar nanti. Jangan takut untuk bilang “Saya tidak tahu”, justru kalimat itu jadi pintu awal buat kita belajar hal baru. Sejak awal gue juga bilang bahwa spesialisasi gue adalah energy policy dan gue masih minim pengetahuan tentang urban energy development and governance. Akhirnya, doi pun memberikan gue terus suntikan ilmu lewat berbagai jurnal dan buku-buku baik tulisan doi maupun publikasi orang lain yang terkait dengan urban energy and climate change. Support semacam ini dari atasan yang gue harapkan bisa gue dapatkan lagi nanti di masa depan dimanapun gue bekerja. Bukan hanya sekedar support materi, tapi pekerjaan yang juga bisa membuat gue terus belajar hal baru setiap hari nya seperti masih jadi mahasiswa atau pelajar. Banyak yang bilang jadi researcher itu membosankan alias dinamika nya gitu-gitu aja, misalnya lo duduk sepanjang hari di lab atau depan PC. Ternyata, IHS lah yang akhirnya menunjukkan the real life or researcher, entah berapa bahan bacaan yang bisa kit abaca, pengetahuan yang kita dapatkan, dan akhirnya bisa kita olah menjadi manfaat untuk banyak orang di luar sana.

Walaupun singkat, 4 bulan pengalaman bekerja dan tinggal di kota Rotterdam dan Schiedam gue ini bisa dibilang tough nya ngalahin tahun pertama gue di Belanda. Rasanya lama dan panjang (lol). Dari sini gue belajar banyak hal dan menemukan titik balik yang tepat buat gue untuk mengubah hal-hal minor di hidup gue menjadi lebih baik J







Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Campus Life be Like

Time flies so fast. Really. Ternyata sudah hampir dua bulan aku melewati salah satu fase baru di hidup (ciyeeee as if newly couple ), maksudnya my master study life in Wageningen, desa sepi nan indah di Belanda ( trust me,  gak bakal ada turis dari Indonesia yang intenationally  kesini kalau bukan punya temen, saudara, atau kerabat yang tinggal di desa ini).  Well, sebelum semakin larut dan makin banyak jurnal yang dianggurin (gatel pengen nulis sekarang, anaknya ga sabaran, mumpung jam 12 malem jadi ga merasa berdosa). I'll make this story started now. Aku mungkin harus cerita lebih dulu tentang kota ini, eh maksudnya desa ini, dan segala isinya, supaya yang baca bisa sedikit membayangkan.  1. Apa dan Dimana Wageningen, Wageningen University and Research itu? Wageningen hanyalah kota kecil yang terletak di provinsi Gelderland, Belanda. Jumlah populasinya hanya sekitar 39.000 penduduk saja (populasi Garut masih 5x lebih banyak dari ini,  https://en.wikipedia.org/wiki/Garu

Satu lagi Mimpi..

Rabu, 9 September 2015  jadi salah satu hari bersejarah untuk beberapa mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), tapi tidak untuk saya. Ya, hari kelulusan pun tiba. Setelah empat tahun menjadi mahasiswa, melewati fase yang menurut orang-orang adalah gerbang penentu kesuksesan di masa depan, akhirnya semua berakhir, tapi lagi-lagi tidak untuk saya. Sejak pertama kali memasuki bangku kuliah, wisuda bukan jadi sesuatu yang penting bagi saya, hanya sebatas ceremonial. Tapi, hari itu saya sadar mengapa orang-orang begitu menunggu momen ini. Wisuda, mungkin bukan apa-apa, tapi jadi hadiah spesial untuk keluarga dan sahabat terdekat. Euphoria nya terasa lebih mendalam ketika dihadiri dan disaksikan oleh mereka, yang rela menyempatkan waktu untuk melihat kita sesekali berbusana rapi, mengenakan toga, dan bahkan memberikan buket bunga dan boneka sebagai kenang-kenangan. Disaat semua orang menikmati kebahagiaan itu, ada rasa takut yang semakin besar menghantui pikiran saya. Rasa takut tida

Tidak Terlihat tapi Terasa...

Dewasa ini, banyak orang di usia akhir masa remaja hingga pertengahan 30 tahunan mengalami gangguan panik. Awalnya dianggap sepele, namun ternyata bisa berdampak negatif untuk pengembangan diri dan interaksi dengan orang disekitarnya, Ternyata, peremuan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan gangguan panik ini. Gangguan panik ini tidak hanya sekedar gangguan yang sifatnya temporer, tapi bisa jadi permanen apabila tidak disembuhkan. Gangguan panik ini dalam medical terms dikenal sebagai Anxiety Disorder.  \ Salah satu blog yang saya baca, menyebutkan bahwa salah satu gejala terbesar dari penyakit psikis ini adalah rasa takut yang persisten akan adanya serangan berikutnya, atau rasa cemas (misalnya, takut kehilangan akal atau menjadi gila, terkena serangan jantung, bahkan takut mati). Salah satu dampak buruk lainnya adalah, penderita takut berada di keramaian dan lebih cenderung memilih di rumah, sebisa mungkin menghindari mobilitas di luar rumah karena takut